Menilai Sinematografi

Posted: July 10, 2021 in Tulisan
Tags: , , , , ,

Karena sinematografi adalah seni dan teknologi fotografi gambar bergerak, maka menilaipun tidak lepas dari sisi seni yang terkait estetika konsep visual. Nilai teknologi yang berkualitas dimana menciptakan imaji dengan detail-detail informasi dari elemen visual yang mendukung pemaknaan atau cerita.

Dalam penilaian teknologi sebenarnya kalau didalam industri akan disaring melalui standar-standar industri seperti dari Society Motion Picture Television engineering (SMPTE), Digital Cinema Initiative (DCI), ITU, ISO, IEEE dan lain-lain standar terkait teknologi Audio Visual yang diterapan pada ruang putarnya (siaran) KLIK.

Ruang putar atau siaran inilah yang akan menyaring kualitas teknisnya sehingga jika ruang putar atau penyiar sudah mengikuti standar industrinya maka penilaian teknologi sinematografi sudah selesai, baik di tingkat biokop/cinema industry, televisi/Broadcast Industry yang didalamnya juga penggunaan sistem siaran dengan internet seperti OTT maupun VOD.

Sehingga sebuah festival seperti FFI jika sudah disyaratkan pernah diputar di Biokop (cinema industry) berarti urusan kualitas teknologi sudah selesai, tinggal menilai teknik aplikasinya yang akan terkait dengan penilaian estetikanya. Artinya produksinya juga sudah mengacu pada alur kerja standar Industrinya, baik pada pengambilan gambar hingga pengolahan imaji di pascaproduksi, termasuk pembuatan MASTER copynya apakah untuk Cinema, Televisi atau Streaming internet KLIK.

Pertanyaannya apakah Industri Film dan Konten di Indonesia sudah Standar?

Karena bagi seorang Juri Festival benar-benar fokus kepada penilain nilai-nilai kreatif estetikanya, tidak lagi hanya karena visualya kurang detail informasi dalam kualitas teknologi yang tidak tersampaikan sehingga mempengaruhi penilaian keseluruhan KLIK.

Sementara seorang sinematografer sendiri harus sadar akan:

1. Penciptaan visual yang bercerita (Creative storytelling look) sehingga jika orang mau menilai harus menonton dari menit pertama hingga akhir film, apakah alur cerita VISUALnya konsisten yang menyatu dengan semua aspek film (pengadeganan, karakter tokoh, fotografi, artistik elemen visual maupun audio)… dimana tidak sekedar gambar bagus atau indah saja tapi sudah bercerita secara visual, sinematografer mengerti struktur dramatik maupun pemikiran editorial film secara efektif.

2. Penonton masuk kedalam cerita tanpa merasakan sama sekali teknik pembuatan film (mood believe), penonton merasa terlibat secara emosional terhadap visualnya yang sudah bercerita (lebih bagus lagi jika suara dimatikan penonton dapat merasakannya).

3. Kreatifitas sinematografer dalam menggunakan konsep-konsep visual dimana mengerti dalam penggunaan visual metafora (Creative dramatic look) dalam meningkatkan rasa/mood dramatik cerita.

Tentu saja ini minimal dari beberapa penilain dimana terkadang ada yang menilai mengunakan dasar-dasar filsafat, psikologis, dll sebagai pengkaya penilaian dari sebuah karya Sinematografi yang berkualitas.

Agni Ariatama ICS

Leave a comment