Hari Film Indonesia 1950-2015

Posted: March 31, 2015 in Tulisan

65 tahun sudah pekerja film Indonesia dirayakan bukan karena hanya filmnya saja yang bagus, tetapi yang menjadi alasan Hari Film adalah karya tersebut dibuat oleh Orang Indonesia. Jika kita kaji perjuangan sebenarnya adalah penghargaan kepada kreator, profesional dan pekerja film Indonesia, memperjuangkan Film sebagai bagian kehidupan Masyarakat serta menghidupi kreator dan profesional film.

Tapi masalahnya kita sendiri tidak tahu profesi di film sangat banyak dan menampung banyak tenaga kerja sementara orang kita menyebut dirinya film maker atau pembuat film, jika bekerja di film. Sekali lagi posisi profesi di film sangat beragam. 

Dan pada tanggal 30 Maret semua yang terlibat dalam perfilman merayakan benar benar perayaan film Indonesia walau mungkin belum Nasional, dimana pelaku dan pengusahanya orang Indonesia. Masih banyak kantong kantong kosong lahan kreatif khususnya seni film. Walau sudah mulai berkembang beberapa daerah melihat potensi Sumber Daya Manusia yang tidak pernah habis.

Masalahnya kita eforia dengan peralatan teknologi murah sehingga menimbulkan gelombang motivasi untuk berkembangnya seni film yang tidak diikuti oleh Industrinya. Orang ramai – ramai pusing menghadapi Masyarakat Ekonomi Eropa dan Pasar Global tapi kenapa Industri film kita sendiri menurunkan kualitas teknologinya sama dengan produk produk konsumer yang dijual umum. bahkan menggunakan kamera Handphone… penggunaan hanphone dalam produk sinema sudah ada beberapa yang mendapatkan penghargaan seperti festival Berlin, Sundance tapi tidak masuk kategori ranah Industri.

Industri yang sehat dalam suatu negara adalah saling mengisi dan integrasi dengan bidang-bidang industri di negeri tersebut, yang memiliki ekosistem saling menghidupi. Dan kembali lagi ini masalah kebijakan pemerintah dan pelaku industrinya. Secara kajian selalu dikejar standar yang selalu meningkat mengejar kualitas tertinggi sehingga dibutuhkan intelektual yang mempelajari khusus bidang bidang di perfilman menjadikan ukuran ukuran penilaian. Tidak lupa industri akan berkembang jika ada pasarnya, berapa banyak rakyat Indonesia? dan pada kajian sebelumnya menghasilkan konsep Quadra Helix yang di inisiasi Ibu Marie Pangestu dengan jajarannya di kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama profesional film yang tergabung dari beberapa asosiasi yang akhirnya dibentuk Badan Perfilman Indonesia “yang wajib ada” karena ada dalam UU RI no.33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Sayang politik kita dibangun dengan rasa tidak percaya dan saling curiga, atau memang ada yang dengan sengaja membuat ini?. Cenderung orang kita percaya apa yang didengar apalagi dilihat itulah fungsi komunikasi, sayangnya area ini diperebutkan kelompok tertentu dan/atau pedagang yang masuk ke ranah politik. Sayangnya literasi media kita belum tersebar luas, semoga ahli komunikasi kita tidak memihak sebuah kelompok.

kebudayaan adalah cermin pembelajaran masyarakat menurut Anies Baswedan, sementara penyebaran komunikasi sekarang sangat masif dengan media sosial, dan bukan sekedar mental rakyat saja tapi kita tidak belajar hati-hati (mungkin) tanpa tahu kebenarannya (Ilmu) padahal ada ayat suci yang menyatakan tidak boleh menyebarkan berita tanpa validasi yang akurat (sekali lagi ilmu). Sederhananya baca ilmu yang sudah terbukti (iqra). Bagaimana terbukti jika semua Copy Paste …..

Ilmu bisa berkembang kalau kita mempelajari ilmu sebelumnya, karena kita terbiasa “copas” tidak ada yang melekat di benak kita dan melanggar kekayaan intelektual orang lain. Selain tidak maju, tidak berkembang melanggar hukum pula. STOP PEMBAJAKAN.

Jika kita urut dari ekosistem, SDM, Pembajakan, ini yang menghambat industri khususnya ranah kreatif. mari kita bangun kepercayaan profesional untuk membangun ekosistem, jangan kita merasa bisa menangani semuanya.

Seharusnya sekolah film bisa menjadi inkubator ekosistem kreatif dimana menggabungkan beberapa profesi menjadi kerja kolaborasi (bekerja sama dengan musuh) yang menghasilkan sebuah karya. Tapi sekali lagi mari kita yakin dengan profesi kita sehingga bisa kita perjuangkan profesi tersebut dan percaya dengan profesi lainnya sehingga menjadi ekosistem yang saling membangun. Jangan sekolah menjadi contoh yang salah sehingga industri mengikuti kaidah intelektual, jangan turuti keuntungan belaka. Industri selalu menayakan seorang dosen sudah berbuat apa? sayangnya di Indonesia ranah kreatif masih dilihat karya yang terlihat belum berkembang karya kajian khususnya di perfilman. Makanya yang dicari profesional (belum punya konsep pendidik) untuk mengajar bukan dosen profesional.  

Sekali lagi ini hanya tulisan sesaat memperingati hari film Indonesia ke 65 tahun dimana pada saat perayaan di FILARTC pada tanggal 27-29 Maret 2015 di pelataran teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. dimana Sinematografer Indonesia diberikan tempat (booth*) dan kami gunakan untuk sosialisasi KODE ETIK di departemen kamera. Walau belum sempurna dimana justru sangat diharapkan kritik dan sarannya demi kebaikan bersama. Tidak lupa juga perangkat kontrolnya pada website SI ada link/tautan LAPOR !!! buat koreksi kami jika ada yang tidak sesuai secara etik. Besar harapan kami kepada semua masyarakat untuk mengontrol kami.

Mari kita berjuang dalam berkarya untuk kehidupan dan pada saat perayaan silahturahmi di Istana Negara bersama Presiden Jokowi salah satu Pembina SI M. Soleh Ruslani  menerima penghargaan dari kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Kreatif yang diserahkan oleh Menteri Anies Baswedan dan Triawan Munaf. Proses adalah waktu belajar … Hasil/karya adalah penilaian masyarakat beradab.

Salam Film Indonesia

A@

* terima kasih kepada penyelenggara FILARTC

 

 

Leave a comment